Cara Yang Benar dalam Memuliakan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam
Bersama Pemateri :
Ustadz Abu Haidar As-Sundawy
Cara Yang Benar dalam Memuliakan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam merupakan rekaman ceramah agama dan kajian Islam ilmiah yang disampaikan oleh: Ustadz Abu Haidar As-Sundawy dalam pembahasan Kitab Al-Irsyad Ila Shahihil I’tiqad karya Syaikh Shalih Fauzan hafidzahullah. Kajian ini disampaikan pada 8 Rabbi’ul Awwal 1440 H / 16 November 2018 M.
Status Program Kajian Kitab Al-Irsyad Ila Shahihil I`tiqad
Status program kajian Kitab Al-Irsyad Ila Shahihil I`tiqad: AKTIF. Mari simak program kajian ilmiah ini di Radio Rodja 756AM dan Rodja TV setiap Jum`at, pukul 16:30 - 18:00 WIB.
Download mp3 kajian sebelumnya: Syirik Pada Zaman Jahiliyah dan Tindakan Pencegahannya
Kajian Tentang Cara Yang Benar dalam Memuliakan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam – Kitab Al-Irsyad Ila Shahihil I’tiqad
Jumat yang lalu kita sudah membahas tindakan preventif dari syariat agar manusia tidak terjerumus ke dalam syirik besar. Diantara tindakan preventif tersebut adalah dilarangnya perbuatan-perbuatan syirik kecil yang kelak akan menjadi syirik besar seperti dilarangnya seseorang menyatakan, ‘Masyaa Allah wa syi’ta (apa yang dikehendaki Allah dan kamu)’, dilarangnya manusia untuk mengagungkan kuburan, membangun bangunan di atas kuburan, membangun masjid di atas kuburan, dilarang shalat ketika matahari terbit atau terbenam, dilarang juga shafar memberat-beratkan diri ke tempat manapun untuk ibadah kecuali ke tiga tempat yaitu Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan Masjidil Aqsa. Termasuk dilarangnya manusia mengkultuskan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Juga dilarang menunaikan nazar di tempat yang disana ada berhala yang disembah. Atau di sana suka diadakan kebiasaan-kebiasaan jahiliyah. Semua itu merupakan pencegahan dini agar orang-orang tidak kebablasan sampai terjerumus ke dalam syirik besar.
Diantara penyebab orang terjerumus ke dalam syirik besar adalah berlebih-lebihan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai pada tingkat kultus atau mendudukkan posisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada posisi uluhiyah ataupun rububiyah. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak suka diperlakukan seperti itu. Berkata Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لاَ تُطْرُوْنِي كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ، فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ، فَقُوْلُوْا عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ.
“Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku, sebagai-mana orang-orang Nasrani telah berlebih-lebihan memuji ‘Isa putera Maryam. Aku hanyalah hamba-Nya, maka kata-kanlah, ‘‘Abdullaah wa Rasuuluhu (hamba Allah dan Rasul-Nya).’” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini melarang kaum muslimin untuk berbuat ithra’ kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apa makna ithra’? Ithra’ itu melewati batas-batas ketika memuji, melewati batas kewajaran. Memujinya tidak dilarang. Tetapi kalau berlebih-lebihan, melewati batas yang dibolehkan, namanya ithra’, maka Nabi melarang.
Sehingga makna hadits itu adalah bahwa jangan kalian memuji aku dengan pujian yang berlebihan sampai kalian memberikan pujian yang terlalu tinggi seperti berlebih-lebihannya orang-orang Nasrani kepada Isa bin Maryam sampai mengklaim adanya hak uluhiyah dalam diri Isa bin Maryam. Hak untuk disembah lalu banyak orang-orang Nasrani yang berdo’a meminta kepada Nabi Isa setelah dianggap Nabi Isa wafat oleh mereka padahal belum wafat. Mereka berdoa, mereka menyembah, mereka membuat patungnya dari itu sikap yang berlebih-lebihan kepada Nabi Isa ‘alaihishalatu wassalam.
Dikhawatirkan itu terjadi dikalangan umatnya maka Nabi melarang. Dan ternyata walaupun dilarang, ada tidak orang yang berlebih-lebihan dalam menyanjung Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam? Ada. Ada tidak dikalangan kaum muslimin yang sujud ke kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam? Ada. Adakah dikalangan kaum muslimin yang berdoa menghadap kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan meminta didalam do’anya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam? Ada. Padahal sudah dilarang. Kata Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ، فَقُوْلُوْا عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ
“Aku hanyalah hamba-Nya, maka kata-kanlah, ‘‘Abdullaah wa Rasuuluhu (hamba Allah dan Rasul-Nya).”
Maknanya adalah sifati aku dengan dua sifat yang Allah telah tetapkan itu sebagai sifat bagi diriku. Sifat pertama Allah hamba, kedua adalah Rasul. Dua-duanya ada sifat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau hamba Allah, beliau juga Rasulullah (utusan Allah). Jangan ditambah melebihi dari yang ditetapkan oleh Allah.
Allah menetapkan sifat hamba bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dibanyak ayat. Sebagai contoh, seperti surah al-Kahfi ayat yang pertama Allah berfirman:
الْحَمْدُ لِلَّـهِ الَّذِي أَنزَلَ عَلَىٰ عَبْدِهِ الْكِتَابَ وَلَمْ يَجْعَل لَّهُ عِوَجًا ۜ ﴿١﴾
“Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al Kitab (Al-Quran) dan Dia tidak mengadakan kebengkokan di dalamnya;” (QS. Al-Kahfi[18]: 1)
Kitab yang dimaksud adalah al-Qur’an. Hamba yang dimaksud disini adalah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Posisi beliau ketika menerima kitab, menerima wahyu, oleh Allah disebut dengan sebutan hamba.
Coba lihat lagi dalam surah al-Furqon juga ayat pertama:
تَبَارَكَ الَّذِي نَزَّلَ الْفُرْقَانَ عَلَىٰ عَبْدِهِ لِيَكُونَ لِلْعَالَمِينَ نَذِيرًا ﴿١﴾
“Maha suci Allah yang telah menurunkan Al Furqaan (Al Quran) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam,” (QS. Al-Furqan[25]: 1)
Al-Furqon yang dimaksud disini adalah Al-Qur’an, hamba-Nya yang dimaksud disini adalah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dalam surah Jin ayat 19 Allah menyatakan:
وَأَنَّهُ لَمَّا قَامَ عَبْدُ اللَّـهِ يَدْعُوهُ كَادُوا يَكُونُونَ عَلَيْهِ لِبَدًا ﴿١٩﴾
“Dan bahwasanya tatkala hamba Allah (Muhammad) berdiri menyembah-Nya (mengerjakan ibadat), hampir saja jin-jin itu desak mendesak mengerumuninya.“(QS. Al-Jinn[72]: 19)
Yang dimaksud hamba Allah ini disini adalah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dilihat oleh jin dianggap aneh lalu Jin mengerubuti, mengelilinginya. Dan ini posisi yang agung ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri dan berdoa, beribadah kepada Allah. Ketika posisi beribadah dan berdoa disebut dengan sebutan hamba Allah. Ketika pada posisi beliau menerima wahyu dan itu posisi yang mulia, beliau pun disebut dengan sebutan hamba-Nya. Begitulah setiap kali Nabi berada pada posisi agung dan mulia, selalu disebut hamba oleh Allah. Termasuk ketika beliau mengalami Isra’. Yaitu terjadi berjalan karena beliau dari Makkah ke Masjidil Aqsa. Dan itu posisi yang agung. Tidak semua Nabi mengalami itu. Apalagi orang biasanya. Hanya beliau satu-satunya. Posisi yang agung tersebut oleh Allah disebut dengan sebutan hamba. Allah berfirman:
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ…
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya…“(QS. Al-Isra`[17]: 1)
Jadi, setiap kali Allah memposisikan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam posisi yang mulia, setiap kali itu juga disebut dengan sebutan hamba, Dan ini memberi pelajaran yang luar biasa kepada kita. Semakin seorang manusia menghambakan dirinya kepada Allah, merendahkan dirinya, menghinakan dirinya dihadapan Allah, akan semakin mulialah dia, semakin tinggi derajatnya, semakin agung kedudukannya. Keagungan seorang manusia dilihat dari seberapa hebat dia menghambakan diri dihadapan Allah. Sebaliknya, kalau ada seseorang merasa diri besar dihadapan Allah padahal kecil, merasa diri agung dihadapan Allah padahal hina, merasa diri ini mulia dihadapan Allah padahal dia rendah, merasa besar itu disebut dengan sebutan takabur.
Takabur itu merasa diri besar. Semakin seseorang merasa besar dihadapan Allah, semakin hina dia, semakin rendah dia, semakin dimurkai oleh Allah subhanahu wa ta’ala.
Maka dari itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam orang yang paling mulia oleh Allah disebut hamba karena hebatnya penghambaan beliau penghambaan diri beliau kepada Allah azza wa jalla. Itulah sifat yang Allah tetapkan bagi Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau adalah hamba karena hebatnya penghambaan diri beliau kepada Allah, makanya sebagai hamba tidak boleh dikultuskan, tidak boleh untuk diposisikan pada posisi yang layak disembah, tidak boleh. Beliau harus diagungkan, harus dimuliakan, harus dipuji, tapi dengan kadar yang tidak berlebih-lebihan.
Selain sebagai hamba beliau juga sebagai Rasul, beliau juga sebagai Nabi. Sebagai hamba tidak boleh dikultuskan, sebagai Nabi dan Rasul tidak boleh direndahkan. Harus dimuliakan diagungkan dipuji tapi dengan kadar yang tidak berlebih-lebihan. Karena sifat Nabi dan Rasul, Allah tetapkan pada diri beliau. Allah sering memanggil beliau dengan sebutan Nabi atau Rasul.
Itulah dua sifat yang melekat pada diri beliau yang Allah subhanahu wa ta’ala menetapkan dua sifat itu untuk beliau sebagai hamba sebagai Nabi atau Rasul.
Tapi tetap saja dikalangan umatnya ada yang menyimpang dari larangan Nabi ini. Nabi menyatakan:
اَ تُطْرُوْنِي كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ،
“Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku, sebagai-mana orang-orang Nasrani telah berlebih-lebihan memuji ‘Isa putera Maryam.”
Nabi tegas melarang hal itu, tapi tetap saja banyak di kalangan umat nya yang melanggar larangan ini. Mereka mengagungkan dengan kadar pengagungan yang sudah dilarang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka bertasyabuh dengan orang-orang Nasrani dalam hal ini. Sampai-sampai dikalangan mereka ada yang memuji Nabi dengan pujian yang hakekatnya menyekutukan Nabi dengan Allah azza wa jalla. Dan mereka ungkap dalam syair-syair, dalam apa yang kita pujian, salawatan kepada Nabi yang melebihi batas.
Biantaranya ada satu bait yang ditulis oleh Bushiri.Bushiri ini menyusun satu kitab yang didalamnya terkandung bait-bait syair yang berisi pujian kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tapi berlebih-lebihan. salah satu bait syairnya:
ﻳَﺎ ﺃَﻛْﺮَﻡَ ﺍﻟْﺨَﻠْﻖِ ﻣَﺎﻟِﻲْ ﻣَﻦْ ﺃَﻟُـــﻮﺫُ ﺑِﻪِ ﺳِﻮَﺍﻙَ ﻋِﻨْﺪَ ﺣُﻠُﻮﻝِ ﺍﻟﺤَﺎﺩِﺙِ ﺍﻟﻌَﻤَﻢِ
“Wahai makhluk yang paling mulia (maksudnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) bagaimana mungkin aku bisa berlindung kepada selain engkau ketika ingin dilepaskan kepada musibah yang berada di musibah yang dahsyat?”
Dia menyatakan, “bagaimana mungkin aku bisa berlindung kepada selain engkau?” Engkau disini yang dimaksud adalah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebab diawali dengan “Wahai makhluk yang paling mulia.” ItuNabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maknanya dia hanya berlindung kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari apa berlindungnya? Dari musibah-musibah yang dahsyat dan bait-bait selanjutnya berisi ditujukannya do’a, minta perlindungan, isti’anah, istighotsah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, minta-minta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar dilepaskan dari kesulitan dan penderitaan yang dialaminya. Orang itu melupakan Allah.
Tapi hebatnya, orang itu merasa benar dengan perbuatannya. Dan apabila diingatkan bukannya menerima nasihat tapi malah marah kepada orang yang mengingatkan. Kenapa? Imam Ibnu Qayyim Al jauziyah menyebutkan bahwa karena setan telah menghiasi bagi orang tersebut dan orang-orang yang semisalnya buruknya amal mereka berupa sikap ghuluw yang berlebih-lebihan kepada Nabi. Padahal itu syirik besar dianggap sebagai sikap menghormati, mengagungkan, memuliakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bernilai ibadah.
Diyakini ini adalah ibadah yang agung karena mengagungkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dihiasi perbuatan buruk yang hakekatnya syirik diberikan hiasan sehingga dianggap ibadah yang hebat. Sebaliknya, setan menampakan kepada mereka bahwa berpegang teguh kepada sunnah dalam bentuk tidak berlebih-lebihan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dianggap sebagai kebencian kepada Nabi, dianggap sebagai sikap tidak hormat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Jadi orang-orang yang tidak mau memuji Nabi seperti yang mereka lakukan dianggap membenci Nabi, dianggap sebagai orang yang tidak menghargai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak memuliakan beliau. Lalu setiap hal yang berkaitan dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diagungkan melebih-lebihkan dari yang disyariatkan. Hari kelahirannya diulang tahunkan.Beberapa kaum muslimin pada waktu hari kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membuat kue bolu yang ada lilinnya lalu ditiup lalu nyanyi-nyanyi happy birthday Ya Rasulallah. Dan itu dianggap Sikap menghormati memuliakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak merayakan hari kelahirannya dianggap sebagai kebencian kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dianggap sebagai sikap yang kurang hormat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Berkata Imam Ibnu Qayyim bahwa padahal sebenarnya melanggar larangan beliau sehingga berlebih-lebihan dalam memujinya, tidak mengikuti sunnah beliau dalam ucapan perbuatannya merupakan sikap yang tanakkus sebenarnya kepada Nabi. Tanakkus itu dianggap kurang hormat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Coba bayangkan, kalau ada orang yang mengkultuskan kita. Setiap ketemu kita membungkuk seperti bungkuk ruku’ dia kepada Allah ‘azza wa jalla. Kita tidak suka, kita larang, jangan begitu, tegak saja kalau bersalaman, jangan sampai membungkuk, kita sama. Bahkan mungkin saja Antum lebih mulia dimata Allah daripada kita. Tapi orang itu tetap ingin menghormati kita, ingin memuliakan kita, walaupun kita larang dia tetap ruku’. Apakah kita merasa terhormat, merasa dihormati, dihargai, dimuliakan oleh dia? Tidak! Kita akan merasa dimuliakan kalau dia mengikuti apa yang kita inginkan. Jadi begitu ketemu tegak saja, salamnya tidak sampai membungkuk.
Jadi Sikap menghormati orang yang sebenarnya adalah dengan cara mengikuti nasihatnya. Kalau ada larangannya jauhi larangannya, kalau ada anjurannya laksanakan anjurannya. Maka disebutkan:
Tidak mungkin tercapai sikap menghargai Nabi, tidak mungkin terwujud sikap mencintai Nabi kecuali dengan cara mengikuti sunnahnya, menjauhi larangannya, melaksanakan semua anjurannya, menolong agamanya dan menegakkan sunnahnya. Itu cara yang benar dalam menghargai Nabi, memuliakan Nabi, menghormati menghormati Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Simak penjelasannya pada menit ke – 25:36
Simak Kajian Lengkapnya, Download dan Sebarkan mp3 Ceramah Agama Islam Tentang Cara Yang Benar dalam Memuliakan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam – Kitab Al-Irsyad Ila Shahihil I’tiqad
Podcast: Play in new window | Download
Artikel asli: https://www.radiorodja.com/45372-cara-yang-benar-dalam-memuliakan-nabi-shallallahu-alaihi-wa-sallam/